PERIKATAN & PERJANJIAN

Jumat, 06 Mei 2011 05.29 Diposting oleh fitriana_lestari

1. Perikatan

Dengan “perikatan” dapat kita maksudkan sebagai suatu hubungan hukum yang melekatkan hak dan kewajiban diantara para pihaknya, yang lahir baik karena adanya suatu persetujuan maupun karena undang-undang. Sebagai konsekuensi bagi para pihak yang mengikatkan diri ataupun yang terikat dalam hubungan hukum ini adalah timbulnya apa yang dinamakan dalam dunia hukum dengan istilah “prestasi”, yaitu sesuatu yang dapat dituntut. Prestasi ini secara umum dapat di bagi menjadi tiga macam, yaitu prestasi untuk menyerahkan sesuatu; prestasi untuk melakukan sesuatu; dan prestasi untuk tidak melakukan sesuatu.

Pengertian perikatan (verbintenis) memiliki pengertian yang lebih luas daripada pengertian perjanjian (overeenkomst). Dikatakan lebih luas karena perikatan itu dapat terjadi karena :

a. Persetujuan para pihak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya…”. contohnya antara lain : perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian kredit, perjanjian deposito, dan lainnya.

b. Undang-undang, sebagaimana dimaksud Pasal 1352 KUH Perdata, perikatan itu dapat timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang karena perbuatan orang. Selanjutnya Pasal 1353 KUH Perdata menjelaskan bahwa perikatan yang dilahirkan dari undang-undang karena perbuatan orang, dapat terbit dari perbuatan halal atau dari perbuatan melanggar hukum. Atas dasar kedua pasal tersebut, dapat dikemukakan contoh sebagai berikut :

1) Dari undang-undang semata, misalnya Pasal 45 ayat 1 Undang-Undang Nomor : 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.

2) Dari undang-undang karena perbuatan :

a. Halal (tidak melanggar hukum), misalnya zaakwaarneming atau perwakilan sukarela atau mewakili kepentingan orang lain tanpa diminta atau disuruh oleh orang itu, seperti yang dimaksud oleh pasal 1354 KUHPerdata : “jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa sepengetahuan orang itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut sehingga orang yang diwakili kepentingan dapat mengerjakan sendiri urusan itu…”. Misalnya, A bertetangga dengan B. Pada suatu saat A pergi ke luar negeri selama 3 bulan. B sebagai tetangga, melihat pekarangan rumah A kotor, tidak terawat dan merusak pemandangan rumah B. Karena itulah B secara sukarela dengan tidak mendapatkan perintah dari A merawat dan membersihkan pekarangan rumah A. Terhadap peristiwa seperti ini maka berdasarkan pasal 1354, B wajib untuk terus menerus membersihkan dan merawat rumah A, sampai dengan A dapat mengerjakan sendiri pekerjaan itu.

b. Melanggar hukum (onreehtmatige daad) seperti yang dimaksud oleh pasal 1365 KUHPer : “tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada orang lain karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Misalnya, motor milik A yang sedang diparkir ditabrak oleh mobil yang dikendarai oleh B yang sedang dalam keadaan mabuk. Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, A dapat menuntut B untuk memberikan ganti rugi pada A, atas kerugian yang diderita oleh A yang dikarenakan perbuatan B.

2. Perjanjian

Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

Syarat-syarat sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila dipenuhi 4 syarat seperti yang ditegaskan oleh pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

2) Kecakapan untuk membuat suatu Perikatan

3) Suatu hal tertenu

4) Suatu sebab yang halal”

Syarat no. 1 atau kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat no. 2 atau kecakapan untuk membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu untuk subjek hukum atau orangnya. Sedangkan syarat no. 3 atau suatu hal tertentu dan syarat no.4 suatu sebab yang halal disebut syart objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.

1) Kesepakatan

Syarat no. 1 mengenai kesepakatan mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat (konsensual) para subjek hukum atau orang, dapat terjadi dengan secara tegas, baik dengan mengucapkan kata atau dengan tertulis, maupun secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat.

a. Kebebasan bersepakat

Kebebasan bersepakat (konsensual) secara tegas dengan mengucapkan kata, seperti yang terjadi antara penjual dengan pembeli, antara peminjam uang dengan yang meminjamkan, antara penyewa dengan yang menyewakan rumah, semua dengan tawar-menawar yang diikuti dengan kesepakatan. Hal ini dapat terjadi dengan bertemunya pihak-pihak kreditur dengan debitur, melalui telepon atau dengan melalui perantara.

b. Perjanjian tanpa unsur Kebebasan

Suatu Perjanjian dikatakan tidak memuat unsur kebebasan, apabila memuat salah satu unsur dari tiga unsur ini:

i) Unsur Paksaan (dwang), adalah paksaan terhadap badan (fisik) dan paksaan terhadap jiwa (psikis) dan paksaan yang dilarang oleh Undang-undang. Tetapi dalam hal ini, di dalam Undang-undang ada suatu unsur paksaan yang diijinkan oleh Undang-undang, yakni paksaan dengan alasan akan dituntut di muka hakim, apabila pihak lawan tidak memenuhi prestasi yang telah ditetapkan

ii) Unsur Kekeliruan (dwaling), Kekeliruan dapat terjadi dengan 2 kemungkinan, yaitu :

1. Kekeliruan terhadap orang atau subjek hukum, misalnya perjanjian akan mengadakan pertunjukan lawak, akan tetapi undangan untuk pelawaknya salah alamat, karena namanya sama.

2. Kekeliruan terhadap barang atau objek hukum, misalnya jual-beli dengan monster tetapi yang diberikan salah, karena barangnya sama dan yang berbeda ialah tahunya.

iii) Unsur Penipuan (bedrog) Apabila terjadi suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar. Suatu perjanjian yang mengandung salah satu unsur paksaan, kekeliruan ataupun penipuan dapat dituntut pembatalannya sampai batas jangka waktu 5 tahun seperti dimaksud oleh pasal 1454 KUH Perdata.

2) Kecakapan (Cakap Hukum)

Berkenaan dengan cakap atau tidak cakapnya seseorang untuk membuat suatu persetujuan, Pasal 1330 KUH Perdata telah memberikan batasannya. Batasan tersebut adalah siapa-siapa saja yang menurut hukum dikatakan tidak cakap untuk membuat suatu persetujuan :

a. orang yang belum dewasa, contohnya antara lain :

· Kecakapan untuk membuat perjanjian (overeenkomst) apabila berumur minimal 21 tahun atau sebelumnya telah melangsungkan pernikahan (di atur dalam Pasal 330 KUHPerdata)

· Kecakapan untuk melangsungkan perkawinan menurut Pasal 7 Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, bagi seorang laki-laki berumur minimum 19 tahun dan bagi wanita berumur minimum 16 tahun.

· Kecakapan untuk mempunyai hak memilih dalam PEMILU apabila pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) atau sudah/pernah kawin (Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)

· Kecakapan untuk dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum dalam penuntutan terhadap perbuatan pidana adalah apabila telah berumur 16 (enam belas) tahun (Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)

b. orang yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele), contohnya antara lain : gangguan jiwa seperti sakit saraf atau gila, pemabuk atau pemboros

c. Wanita yang dalam perkawinan atau yang berstatus sebagai istri (mengenai ketidakcakapan wanita ini telah dicabut oleh UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

3) Hal Tertentu

Sebagai syarat ketiga sahnya perjanjian, menurut pasal 1320 KUHPer ialah suatu hal tertentu. Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Hal tertentu mengenai objek hukum benda itu oleh Pihak-pihak ditegaskan di dalam perjanjian mengenai : 1. Jenis barang; 2. kualitas dan mutu barang; 3. buatan pabrik dan dari negara mana; 4. buatan tahun berapa; 5. warna barang; 6. ciri khusus barang tersebut; 7. jumlah barang; 8. uraian lebih lanjut mengenai barang itu.

4) Sebab Yang Halal (causa yang halal)

Syarat ke empat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUHPer adalah adanya sebab (causa) yang halal. Dalam pengertaian ini pada benda (objek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.

Perbedaan Perikatan dan Perjanjian

Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.

Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:

“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”

Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang.

Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.

Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH).

Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan bunga.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari undang-undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat didalamnya.

0 Response to "PERIKATAN & PERJANJIAN"

Posting Komentar

selalu kasih kommentar buat fitri yua teman-teman, karena kicauan teman teman adalah guru buat aku,, maksih udah berkunjung..